Minggu, 14 Februari 2010

SYUKUR :

Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri

    Suatu ketika Rabiah Addawiyah bertanya kepada orang-orang shaleh yang berkunjung ke rumahnya, “mengapa kalian menyembah Allah?”
    Mendengar pertanyaan yang tidak biasa itu, dengan spontan mereka menjawab, “Karena kami takut api neraka yang All
ah ancamkan dan kami mengharap surga yang Allah janjikan.”
    Rabiah terdiam beberapa saat, seolah ia kecewa mendengar jawaban itu.
    “Lantas, apabila surga dan neraka itu tidak ada, apakah kalian masih menyembah Allah?”

    Masya Allah, sengguh sebuah pertanyaan yang membenturkan kepala kita pada tembok kebodohan kita sendiri. (Setelah dibentur-benturkan  begitu keras, tapi aneh, tak ada yang berserakan keluar. Tahu mengapa? Karena ternyata selama ini kepala kita memang tidak ada isinya!)
    Ketika kita renungkan dialog singkat di atas, kita seakan sedang berlayar di samudera ilmu yang maha luas, lalu dengannya kita menemukan hikmah, bahwa hakikat ibadah yang kita lakukan semata-mata untuk mewujudkan rasa syukur kepada Allah. Lalu kitapun tenggelam ke sebuah pertanyaan yang lebih dalam lagi, bagaimana mungkin kita bisa menuntaskan rasa syukur itu bila setiap rasa syukur ternyata membutuhkan rasa syukur yang lain! Subhanallah. Dan ketidak mampuan kita untuk mesyukuri rasa syukur itulah yang membuat kita membutuhkan ridho-Nya.  Ya, semata-mata membutuhkan ridho-Nya atas segala jalan penghambaan yang kita lintasi. Maka dalam konteks inilah mesti kita letakkan makna ibadah yang sesungguhnya, hanya mengharap ridho-Nya atas segala ketidak mampuan kita untuk mensyukuri semua nikmat-Nya. Maka tak patut lagi menuntut hak, karena Allah tak diikat oleh kewajiban, tapi hanya dipenuhi oleh kehendak-Nya sendiri.
    Betapa dengan kehendak-Nya, Rasulullah telah terbebas dari ancaman api neraka dan telah menjamin baginya surga, lantas untuk apa lagi Rasulullah beribadah? Ternyata semata-mata hanya untuk mewujudkan rasa syukur. Ya, mewujudkan rasa syukur yang tak akan pernah tuntas!
    Maka jadilah hamba yang pandai bersyukur untuk meraih ridho-Nya.



SANG PEMUDA DAN SUFI:
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri

Suatu ketika seorang pemuda datang mencemooh tokoh sufi, Zun Nun Al Misri, dan tarikatnya. Namun, cemoohan pemuda itu tetap diterima Al Misri dengan ramah. Sesudah puas melepaskan kebenciannya, Al Misri melepaskan cincin dari jarinya dan berkata, “Bawalah cincin ini ke pasar. Gadaikanlah dengan harga satu dirham saja.
    Pemuda itu terheran-heran dan akhirnya cincin itu diterimanya kemudian dibawanya ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada para pedagang sayur, pedagang buah-buahan, sampai penjual ikan dan makanan. Tapi tak seorangpun yang berminat untuk membeli cincin itu. Dengan wajah cemberut pemuda itu kembali kepada Al Misri dan berkata “Engku telah membohongi saya. Cincin ini tidak berharga sama sekali.”
    “Jangan marah dulu, “ kata Al Misri, “Sekarang cobalah jual cincin ini kepada ahli permata. Tawarkan seribu dirham kepada mereka.”
    Pemuda itu nyaris marah. Namun rasa ingin tahunya membuat dia menuruti perintah Al Misri. Sungguh mengherankan, para pedagang permata berebut untuk membeli cincin itu. Si pemudapun bingung dan terheran-heran. Dengan mudahnya ia menjual cincin itu  kepada para pedagang permata itu dengan harga seribu dirham, bahkan ada yang menawarkan lebih tinggi. Pemuda itupun bergegas menemui Al Misri.
    “Sungguh mengherankan,” kata pemuda itu,” mereka berebut membelinya.”
    Al Misri hanya  tersenyum mendengar pernyataan sang pemuda dan berkata, “Nah, orang tidak akan bisa menghargai sesuatu bila ia tidak mengetahui sesuatu.”
    Pemuda itu semakin kebingungan.
    “Sesuatu yang bernilai dan berharga hanya akan diketahui dan dipahami oleh mereka yang mengerti. Sekarang bagaimana mungkin engkau berani mencaci para sufi dan ilmu tarikat kalau saja engkau belum tahu isi dan hakikatnya. Pelajari dulu baik, kenali dengan baik, baru tentukan pendapatmu. Inilah sikap orang-orang yang bijak.”
    Pemuda itupun tertunduk malu dan akhirnya menjadi murid dari sang sufi.


SUARA HATI
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri

Konon, di sebuah Perguruan Tinggi, terjadi perdebatan sengit antara dua kelompok mahasiswa yang sama-sama mempertahankan teori tentang asal usul Manusia. Satu kelompok mempertahan teori Darwin yang mengatakan bahwa Manusia berasal dari Kera. Sementara kelompok lain tetap konsisten dengan dalil agama, bahwa Manusia berasal dari satu moyang yang bernama Adam, tentu saja seorang Manusia.
Perdebatanpun menajam bagai mata pedang yang nyaris mengoyak-ngoyak aqidah seorang muslim. Betapa tidak, teori yang diusung Darwin seakan membangun persepsi yang menyimpang dimana ajaran Agama Islam selalu dianggap berbenturan dengan sains dan kemajuan ilmu pengetahuan. Alhasil, Agama dan ilmu pengetahuan tak lagi bekerja seiring, tapi berdiri saling berhadap-hadapan, dan umat manusia dipaksa untuk memilih secara ekstrim di antara keduanya!
Berbagai argumentasipun berhamburan dari macam-macam pendekatan dan pembuktian ilmiah yang amat meyakinkan. Satu kelompok mahasiswa bahkan tak segan-segan menghadirkan seekor monyet sebagai bahan diskusi untuk memperkuat argumentasi. Sementara kelompok lain membuat argumentasi dengan berbagai dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli, lengkap dengan referensi ilmiah yang tak kalah meyakinkan. Kedua argumentasi sama hebatnya dan sama kuatnya sehingga perdebatan semakin alot dan nyaris tak terkendali.
“Baiklah…”, tiba-tiba suara sang dosen memecahkan keributan, “kita kembalikan saja persoalan ini kepada hati nurani kita masing-masing.”
Seluruh mahasiswa tersentak diam. Ruang kuliah yang hiruk pikuk tiba-tiba menjadi hening seolah dihimpit pertanyaan besar, bagaimana mungkin hati nurani mampu berbicara soal ini? Matapun saling beradu pandang seolah menitip keraguan satu sama lain.
Lalu sang dosenpun melanjutkan instruksinya, “yang merasa dirinya keturunan kera tetap duduk di sebelah kiri ruangan, dan yang merasa keturunan Manusia mohon berpindah ke sebelah kanan!”
Ruang kuliah kembali heboh. Masing-masing mahasiswa berebut mengambil posisi yang ditentukan. Lalu apa yang terjadi?
Ternyata ruang sebelah kanan telah dijejali oleh para mahasiswa yang mengaku anak keturunan Manusia. All of them. Semua telah pindah ke sebelah kanan, kecuali seekor monyet yang tadinya sebagai bahan diskusi. Benar-benar seekor monyet anak keturunan kera!

Syahdan, ketika suara hati yang bicara, ternyata semuanya mengaku sebagai anak keturunan Adam. Tapi bila ada yang mau mengaku sebagai keturunan kera, pindahlah ke sebelah kiri, temui saudara kandungmu itu! “Dan Dia-lah yang menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), maka (bagimu) ada tempat tetap (Bumi) dan tempat simpanan (kubur). Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.”
(Q.S. Al An’Am [6] : 98)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar