RENUNGKANLAH
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri
Menuntut ilmu bukan hanya sekedar mengisi otak dengan hal-hal yang memang belum kita ketahui. Sebab, langkah semacam itu seringkali hanya akan menciptakan pengertian dan symbol yang mengendap dalam memori belaka. Efeknya hanya mampu menyentuh otak, sementara hakikat ilmu mesti ada kepahaman yang menyentuh hati. Belajarlah untuk tidak hanya sekedar mengisi otak semata, karena ia bagai mengajarkan kita melihat sesuatu hanya dari jauh, lalu bagaimana mungkin kita akan bisa menyentuhnya dengan jari jemari bathin, sementara kepahaman mesti ada sentuhan bathin dalam menyikapi realitas. Seorang ahli hikmah pernah berkata; “pendidikan bukan hanya sekedar mengisi otak, tapi lebih penting adalah bagaimana menggunakan isi otak itu dengan benar!”
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah waktu berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (merenung) seraya berkata; “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(Q.S. Ali Imran [3] : 190-191)
Merenung! Hanya karena sebuah Apel yang jatuh di depannya, seorang Isaac Newton mampu ‘mengubah’ dunia dengan teori gaya gravitasinya. Inilah contoh dari hasil perenungan itu. Dengan cara ini, maka segala potensi yang dimiliki Manusia biasanya akan terdorong untuk melahirkan pemikiran yang mendalam. Ia bagai suluh yang memberi cahaya, bagai bintang yang menunjuki arah biduk di tengah lautan, dan bagai azam yang membakar semangat insani. Semua fenomena alam menjadi bahan renungan untuk dipelajari lalu diambil ibrahnya. Dengan cara ini maka terungkaplah banyak rahasia ilmu yang memberi manfaat kepada Manusia. Maka tertunduklah akal dan hati seraya berkata; “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Subhanallah!
Merenung adalah cara berfikir kreatif yang disandarkan pada ketundukan hati atas kebesaran dan kekuasaan Allah.swt. Ia adalah jalan yang akan membawa kita kepada hikmah. Dan hikmah adalah puncak segala ilmu pengetahuan, induk dari segala kebaikan. Pendek kata, ilmu pengetahuan yang mampu memberi kekuatan kepada hati untuk taat perintah Allah.swt dan Rasul-Nya, maka itulah hikmah!
“Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya telah diberikan kepada kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”
(Q.S. Al Baqarah [2] : 269)
Dengan merenungkan kebesaran Allah.swt yang terlihat pada penciptaan langit dan bumi, maka akan lahirlah generasi yang memiliki daya inovasi yang tinggi, punya inisiatif, kreatif, dan memiliki sikap mental yang mandiri dalam segala bidang kehidupannya. Maka untuk meraih kecerdasan yang tinggi, tak ada jalan lain, renungkanlah segala ciptaan Allah.swt yang terbentang luas di alam semesta raya.
Jangan hanya pandai menggunakan air, tapi juga harus berfikir dan merenungkan bagaimana terjadinya siklus hidrologi di alam semesta. Karena di titik inilah sesungguhnya tersembunyi rahasia besar dimana orang bisa mengubah uap menjadi ‘emas’. Paham? Bila tak paham, maka renungkan sekali lagi agar anda bisa mendulang ‘emas’ dalam putaran waktu yang anda jalani sendiri!
Wallahu a’lam.
MENARA KETELADANAN
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri

Fakta kekinian menyuguhkan berbagai fenomena yang memaksa kita untuk mengakui bahwa pendidikan di negeri ini, secara umum, nyaris gagal total. Buktinya, pendidikan tak mampu memberi solusi yang berarti dari banyak masalah yang timbul dalam masyarakat. Pendidikan seolah bungkam menghadapi berbagai krisis yang tengah membadai di langit peradaban. Puncak krisis yang paling anyar adalah krisis moral dan akhlak yang kini semakin mendekati angka yang paling mencemaskan. Berbagai kemaksiatan dan kejahatan kian fulgar menari-nari di depan hidung para guru, orang tua, dan para ulama. Tapi strategi pemecahan masalah selalu terjebak dalam lingkaran yang tak berujung pangkal. Menggantang asap! Dan bahkan, ilusi seringkali dianggap sebagai solusi. Kondomisasi dan lokalisasi para penzina hanyalah sebagian contoh dari beribu-ribu strategi pemecahan masalah yang tak pernah tuntas, dan bahkan tak jarang menambah masalah. Lalu persoalannya kini adalah; dari mana kita mesti memulai pembenahannya?
Ada tiga dasar pemikiran yang harus ditindak lanjuti secara bijak, yakni;
Agama adalah sebuah institusi untuk memenuhi kebutuhan ruhaniyah. Maka puncak kecerdasan manusia, dengan akal dan hatinya, mesti mampu mendorong kearah itu, karena seluruh pemenuhan kebutuhan manusia pada akhirnya akan bermuara pada pemenuhan kebutuhan ruhaniyah secara sempurna, dengan cara yang benar dan ikhlas. Dan satu hal yang harus kita sadari, bahwa kebenaran dan keikhlasan hanya diperoleh dengan mentauhidkan Allah.swt saja. Bila manusia menghindar dari fakta ini, maka ia seolah jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. Tersesat jauh entah kemana, tanpa harapan dan kehilangan cita-cita!
“…Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(Q.S. Al Hajj [22] : 31)
Oleh karena itu, pendidikan sebagai pilar dari menara peradaban, bila menjauh dari subtansi Agama akan kehilangan makna. Maka ia membutuhkan Agama sebagai barometer utama dalam menetapkan makna dan tujuannya. Betapapun, ketinggian ilmu pengetahuan bila tidak dilandasi oleh kesucian hati sama bahayanya dengan kebodohan yang diperturutkan! Buktinya, betapa banyak korupsi yang menghancurkan tatanan kehidupan social ekonomi masyarakat justru dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Ini satu.
Yang kedua, pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan semata. Atau dengan kata lain, pendidikan bukan hanya sekedar mengisi otak dengan hal-hal yang memang belum diketahui, tapi lebih penting dari itu adalah bagaimana membangun kemampuan untuk menggunakan isi otak itu dengan benar. Maka untuk mencapai tujuan pendidikan tak hanya dibutuhkan angka sebagai alat ukur prestasi, tapi kita lebih membutuhkan sikap dan perilaku sebagai cerminan prestasi yang sesungguhnya.
Dan yang ketiga, pendidikan merupakan proses transformasi ilmu yang membutuhkan simulasi yang nyata agar mampu menghadapi berbagai macam problema hidup dan sekaligus membuat solusi secara kongkrit dan fundamental.
Dari ketiga dasar pemikiran di atas, mesti lahir kesadaran bahwa sesungguhnya pendidikan membutuhkan keteladanan sebagai simulasi kehidupan yang bisa digugu dan ditiru, tanpa harus mengabaikan factor-faktor lain. Kita semua adalah teladan yang menebarkan cinta demi kepribadian anak bangsa. Inilah cinta yang membebaskan cinta dari kebodohan yang tak pernah lelah menjajah hati nurari sejak dulu. Dan puncak menara keteladanan itu adalah Rasulullah.saw. Dan ternyata, hanya itulah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni mencari solusi dari semua problematika hidup di dunia demi kebahagiaan yang hakiki di akhirat. Sekali lagi, itulah satu-satunya jalan!
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(Q.S. Al Ahzab [33] : 21)
Maka demi kesuksesan pendidikan yang dirahmati dan diredhoi, tak ada jalan lain, ikutilah keteladanan Rasululllah.saw dengan berbagai cara! Karena sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah telah sukses membangun peradaban yang paling bermartabat untuk membentuk kemuliaan hidup yang paling terhormat. Pun, hanya Rasulullah saw yang telah sukses mendorong akal untuk membangun jalan logika yang membumbung sampai ke langit dengan berpijak kuat pada kesucian hati.
“..Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”
(Q.S. Al-Hasyr [59] : 7).
Dengan mengikuti keteladanan Rasulullah.saw, jiwa Manusia akan menemukan gairah untuk membangun jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan di segala bidang kehidupan. Mereka yang mengikuti sunnah adalah mereka yang berani menempuh jalan orang-orang yang sukses dahulu dengan cara yang sekarang!
“Bagaimana mungkin kita akan sampai pada tujuan yang sama bila jalan yang kita tempuh justru berawal dari simpang yang berbeda?
Wallahu a’lam.
Thank You, Abi!
BalasHapus