Minggu, 14 Februari 2010

BERTANYA

Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri

Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah berkata, bagian organ mana saja yg bnyk digerakkan maka akan kuat. Bahkan seluruh kekuatan justru berawal dari sini. Misalnya, siapa yg bnyk menghapal  maka akan kuat hplnya. Siapa yg bnyk berfikir maka akan kuat fikirannya.
Serupa dg itu, siapa yg banyak bertanya maka tentu banyak pula inspirasinya  (Q.S.16:43, 28:66)

Bertanya biasanya akan memancing inspirasi kpd mrk yg mau berfikir. Maka tak salah bila ada sebuah teori yg mengatakan bhw berfikir adalah bertanya. Begitulah faktanya,  dimana setiap pertanyaan selalu membutuhkan jwbn. Upaya dlm mencari jwbn itulah yg mendorong kita utk berfikir. Tapi perlu diingat, bhw tdk semua pertanyaan yg bisa dijwb dg tuntas, krn alam logika terlalu sempit utk menampung semesta pengetahuan yg teramat luas. Betapa setiap pengetahuan, bila dihadapkan pd logika, akan menimbukan tanya yg lain lagi. Begitu seterusnya seolah tak sudah2.  Maka dlm kontek ini, kita butuh batasan agar terbangun sikap yg hati2. Kadangkala Kekuatan akal itu bagai mata pisau yg terlalu tajam, hanya kesucian hati yg bisa menjaganya agar tdk melukai jiwa. Artinya, tanpa sikap hati2, maka berfikir menjadi sangat berbahaya.  Satu contoh, bila Allah sudah menetapkan taqdir atas diri kita, lalu utk apa kita harus berikhtiar dan memilih?
Baiklah, ada satu pendekatan yg bisa kita tempuh, bhw ketika Kita dilahirkan dulu, kita tak punya pilihan sama sekali. Tapi setelah terlahir, maka kita harus mampu berbuat dan memilih bgmn semestinya kita menjalani hidup ini. Pilihlah jalan mana saja yg hendak kita tempuh dlm upaya mewujudkan semua hrpn dan cita2, sampai akhirnya kita mati.  Dan ketika pintu kematian itu telah terbuka, barulah kita tahu, bhw  semua ikhtiar dan pilihan  kita itu ternyata hanya sebuah jalan yg membawa kita pd satu keputusan yg sudah ditetapkan-Nya.
 Ternyata semua ikhtiar dan pilihan yg kita lakukan  itu adalah aplikasi atas segala potensi yg diberikan agar kepatuhan kita kpd-Nya wujud dlm taqdir yg sudah ditetapkan-Nya, sehingga mendapat balasan sesuai dg kemampuan daya fikir dan pilihan kita sendiri secara mandiri, bukan hanya ikut2an. Mau jalan ke surga atau ke neraka? Dan kita bertanggung jwb atas semua pilihan kita itu. Maka teruslah berfikir, teruslah memilih sblm berfikir itu dicurigai dan memilih itu dilarang.
Karena berfikir adalah bertanya, maka bertanyalah sblm semua pintu rahasia alam ghaib terbuka lebar di depan mata. Kalau itu terjadi, masih adakah pertanyaan yg patut dijawab lagi? Tidak ada! Karena  pertanyaan itu sendiri justru sdh tdk ada. Artinya, ketika itu kita tak perlu lagi berfikir. Maka berhentilah berfikir dan berhentilah bertanya, karena inilah saatnya justru kita yg akan ditanya! Dan tak perlu repot berfikir utk mencari jwbn, krn kaki, tangan, kulit, dan seluruh anggota tubuh telah menyiapkan jawabannya utk kita. Lalu akan kemanakah kita setelah itu? Ah, jgn bertanya lagi!


Hidup Ini Penuh Warna

Semesta tak pernah lelah mengajari kita, bahwa hidup ini tak selamanya indah seperti mawar atau  merdu seperti kicau burung. Tapi ada kalanya ia rapuh seperti ranting atau seperti daun-daun kering yang terkulai. Dan semestapun selalu mengajari kita, bahwa hidup adalah jalan pengabdian yang penuh dinamika.  Maka teruslah dalam pengabdian, sampai mawar dan daun-daun kering membangun keindahan di cabang yang sama.
Tertawa dan menangis adalah tabiat dunia. Dinamika kehidupan sengaja diciptakan begitu, hingga nampak indah bagaikan pelangi. Dan bahkan, kegelisahan, kesedihan, dan kegagalanpun punya pelanginya sendiri. Di situ biasanya kita selalu menemukan pesona dalam warna-warni kehidupan yang dinamis. Hidup ini memang penuh warna, dan betapa indahnya warna itu dalam kreasi Tuhan..

OBJEKTIF
Oleh : Abi Alfin Yatama El Fikri
Objektif adalah landasan berfikir yg jujur dlm mencari kebenaran. Dan ia juga menjadi semangat kebebasan berfikir yg dpt mendidik nalar utk mengembangkan metode berfikir yg integral dan konprehensif sehingga terbentuk nalar yg merdeka. Dg nalar yg merdeka akal akan mudah berinteraksi lebih luas, lebih kritis, dan mampu menganalisis sesuatu dari sudut pandang yg beragam serta meneropong kesamaan dan perbedaan pandangan secara berimbang sbg langkah pendekatan utk mencapai kebenaran.
Sebaliknya, ketika nalar terikat kuat pd kelaziman tradisi serta sikap taqlid yg dikuasai oleh nafsu dan kepentingan, maka akal akan terpasung pd proses perumusan teori secara emosional subjektif. Oleh krnnya, ia tdk lagi terlibat secara komprehensif, tapi cendrung memihak. Kondisi ini mengakibatkan setiap elemen seakan berpisah2 dan saling bertentangan satu sama lain. Ini bukan saja menjadi proses pendangkalan berfikir ilmiah, tapi juga menjadi pemikiran yg berbahaya. Walhasil, kebenaran yg dicapai hanya semacam persepsi kebenaran yg sepihak. Betapa sejarah sering dilumuri oleh berbagai peristiwa yg memilukan, hanya krn perbedaan pdngan yg terlalu tajam dan cendrung sepihak spt itu. Dan bila kecendrungan ini melibatkan org2 yg bodoh, maka yg sering mencuat ke permukaan adalah semangat permusuhan dan perpecahan. Maka keluasan ilmu, tanpa dilandasi oleh objektifitas yg tinggi serta tanpa kesucian hati, sama bahayanya dg kebodohan yg diperturutkan. Sikap seperti inilah  yg menjadi penyebab munculnya sifat yg mau menang sendiri, selalu memaksakan kebenaran, dan terlalu mudah menyalahkan org lain. 
org yg cerdas akan mudah menemukan kebenaran. Tapi ketika ia memaksakan kebenaran itu pd org lain, maka kita akan mudah pula menemukan bukti bhw ternyata ia hanya seorg yg bodoh!



PERTIKAIAN MAZHAB:
Oleh : Hamdani, SH, S.Ag

Ada sebuah pemikiran yang selama ini terlanjur kita yakini, bahwa dalam menjalankan syari’at Islam (ibadah) kita mesti mengikuti mazhab tertentu. Pemikiran ini sebenarnya hanyalah sebuah kamuflase atas sikap keberagamaan kita yang ngaur. Kita beranggapan bahwa dengan mengikuti mazhab tertentu kita bisa menempuh jalan syari’at dengan benar. Lantas, adakah jaminan bahwa kita benar-benar telah beramal sesuai dengan mazhab itu yang membuktikan bahwa kita benar-benar telah menempuh jalan syari’at secara benar? Belum tentu. Karena tidak ada kemampuan kita sepenuhnya untuk mengikuti mazhab apapun. Dalam konteks beramal secara ittiba’, kita mesti menyadari bahwa dalam setiap amalan, kita mesti tahu dasar hukum dan dalil syar’I yang tentu saja harus merujuk kepada ulama fiqh. Tanpa itu kita hanya beraba-raba di kegelapan malam yang pekat. Tapi ternyata kita punya batas kemampuan untuk memahami ilmu secara sempurna dan punya batas kemampuan untuk mengamalkannya secara menyeluruh. Maka hal ini tentu saja akan membawa kita pada suatu kondisi psikologi, persepsi, dan interpretasi yang tidak sama persis dengan persepsi mazhab itu sendiri. Kondisi dan persepsi ini pada gilirannya terus kita yakini secara kokoh atas dasar ilmu dan wawasan yang kita miliki, sehingga terbentuklah paradigma yang melandasi seluruh sikap keberagamaan kita secara pribadi dalam upaya menjalankan syari’at Islam secara benar. Itu artinya, bahwa sesungguhnya kita tidak sedang beramal menurut mazhab tertentu, tapi kita cenderung beramal menurut ‘mazhab’ kita masing-masing sesuai dengan persepsi dan wawasan keilmuan yang kita miliki. Adalah naïf bila kemudian kita mengaku sebagai pengikut mazhab Syafi’I, sementara tata cara ibadah yang kita lakukan justru jauh dari kaidah-kaidah yang telah ndigariskan oleh Imam Syafi’I yang sebenarnya.
    Kamuflase semacam ini terus saja kita biarkan merayap dalam sikap keberagamaan kita tanpa mau berfikir kritis sedikitpun. Para cendikiawan muslim saat ini yang diharapkan memberi motivasi dan pencerahan, malah terlibat adu mulut dan selalu menakuti-nakuti, seolah berfikir kritis dalam masalah agama adalah dosa yang tak terampuni. Lalu kemana fungsi otak ini mesti kita bawa?    Perlu digaris bawahi dengan garis bawah yang setebal-tebalnya, bukan pemikiran ulama mazhab yang kita kritisi, tapi sikap lalai kita dalam menggunakan akal yang dianugerahkan Allah kepada kita yang mesti kita kritisi. Betapapun, dalam memahami pemikiran ulama fiqh untuk menempuh  jalan ibadah secara benar, fungsi akal mestilah kita letakkan tempat yang semestinya agar kita punya landasan aqliyah atas semua dalil-dalil syar’I yang kuat. Lantas, masihkan kita harus mengaku sebagai pengikut mazhab tertentu? Sementara Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali, dan Imam Syafi’I, serta seluruh ulama fiqh mengaku hanya mengikuti mazhab Rasulullah.saw. Nah, lho!
    “Bila pendapat kami ini bertentangan dengan hadits shahih, maka itulah mazhabku.” Demikian sekelumit pesan Imam Syafi’I dalam mensikapi pendapatnya sendiri.
Lha, mau kemana kita? “Sesungguhnya penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggung jawaban.”


3 komentar:

  1. info yang bermanfaat sob salam sejahtera untuk anda

    BalasHapus
  2. Buku udah dijual?
    Payah nyarinya....Dimana ABi?
    TQ ya atas artikel na...
    CC

    BalasHapus
  3. begitulah hidup ini ..
    v indah bila kita menikmatinnya..

    BalasHapus